Secara harfiah, entrepreneur merupakan individu yang memiliki pengendalian tertentu terhadap alat produksi dan menghasilkan lebih banyak daripada yang dapat dikonsumsinya atau dijual atau ditukarkan agar memperoleh pendapatan. Istilah entrepreneur diungkapkan pertama kali oleh seorang ekonom Irlandia, keturunan Perancis (R. Cantillon, 1697-1734). Menurut rumusan awal Cantillon tersebut, entrepreneur adalah ahlinya mengambil risiko dalam menghasilkan kombinasi baru berbagai produk atau proses atau dalam mengantisipasi pasar atau mengkreasikan tipe organisasi baru. Oleh karena itu, seorang entrepreneur adalah pemimpin suatu industri baru yang bisa menghasilkan perubahan struktural, pertumbuhan ekonomi dan siklus bisnis dengan cara mengkombinasikan ide-ide ekonomi dan psikologi. Bahkan lebih jauh, terkait dengan pembangunan ekonomi, para entrepreneur mampu mengendalikan revolusi dan mentransformasi serta memperbaharui perekonomian dunia. Hal ini karena entrepreneurship merupakan esensi usaha bebas dari kelahiran bisnis baru yang memberikan vitalitas bagi ekonomi global.
Memasuki era Revolusi Industri, para business entrepreneur (sektor bisnis) telah menjadi motor penggerak dalam perubahan-perubahan dunia, tidak hanya dalam lingkup ekonomi dan industri namun juga banyak sektor kehidupan masyarakat. Sementara dalam tiga dekade terakhir, para social entrepreneur banyak berkontribusi pada pembangunan sektor social di masyarakat. Seperti Muhammad Yunus (Grameen Bank), Peter Eiger (Transparency International, Jerman), Alice Tepper-Marlin (Social Accouantability, AS), dan Bill Drayton (Ashoka Foundations, AS). Tampak pula, para business entrepreneur yang semakin intens melakukan program-program pemberdayaan masyarakat. Mereka tidak sekedar melakukan tanggung jawab social (corporate social responsibility) dalam tataran yang sempit, namun banyak yang termotivasi untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam lingkup yang luas. Mereka berkiprah dalam beragam program pemberdayaan masyarakat, baik bidang ekonomi, pendidikan dankebudayaan, kesehatan, sarana dan prasarana maupun lingkungan hidup.
Di Indonesia, permasalahan pembangunan yang muncul dari zaman orde lama sampai orde baru masih sama-sama saja. Tetapi, kelemahan nyata dalam pembangunan masa lalu dan saat ini adalah belum berkembangnya para pemimpin daerah-nasional yang memahami nasionalisme dan berjiwa entrepreneur. Kita juga perlu lebih banyak entrepreneur yang mampu menjadi pemimpin bisnis skala nasional dan global yang baik, kuat dan banyak jumlahnya. Kurangnya pemimpin daerah-nasional yang berjiwa dan memahami entrepreneur serta kurangnya jumlah entrepreneur nasionalis bidang industri yang kuat mungkin menjadi salah satu sebab mengapa pemulihan krisis ekonomi Indonesia menjadi sangat lambat-mungkin paling lambat di kawasan Asia dan Asia Tenggara.
Berapa wirausahawan lagi yang dibutuhkan?
Sosiolog David McClelland menyatakan bahwa suatu negara bisa menjadi makmur apabila ada entrepreneur sedikitnya 2% dari jumlah penduduk. Singapura sudah mencapai 7,2%, padahal pada tahun 2001 hanya sekitar 2,1%. Sedangkan Indonesia hanya memiliki 0,18% dari penduduk atau 400.000-an orang. Itulah alasan kenapa pembangunan di Indonesia selalu memiliki masalah yang jika dilihat relatif sama dari tahun ke tahun. Dan salah satu permasalahan di Indonesia yang berperan penting terhadap pembangunan ialah kurangnya peran seorang entrepreneur dalam membangun bangsa Indonesia.
Innovative Entrepreneur Sebagai Solusi
Kemajuan ekonomi yang luar biasa dari berbagai Negara yang telah mapan, disebabkan oleh inovasi entrepreneur. Semakin banyak entrepreneur dimiliki oleh sebuah Negara, semakin makmur negara tersebut. Menciptakan sebanyak mungkin entrepreneur di suatu negara jelas memiliki kaitan dengan kesejahteraan bangsanya sendiri, setidaknya terdapat empat alasan; mengapa perlu dikembangkan innovative entrepreneurship, alasannya, yaitu.
- Solusi bagi dirinya sendiri
- Solusi bagi sesamanya
- Solusi bagi komunitasnya
- Solusi bagi Negara
Kekhawatiran kita akan masa depan bangsa adalah ketika gagal menciptakan para entrepreneur pencipta lapangan kerja yang mampu mengubah pola pikir menjadi karyawan dibandingkan memiliki kemandirian berusaha yang hanya akan menjadi bangsa pemalas.
Harapan kita di masa depan bertumpu pada para innovative entrepreneur yang smasih berada di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Mereka harus mempersiapkan diri menjadi entrepreneur baru dalam membangun kehidupannya kelak ketika mereka telah menyelesaikan pendidikannya.
Kini tiba saatnya untuk membangkitkan semangat dan kecakapan innovative entrepreneurship untuk menghasilkan jutaan entrepreneur baru bagi bangsa ini sebagai solusi untuk membantu pemerintah dalam menyikapi keterpurukan ekonomi yang marginal dan sebagai solusi penciptaan lapangan kerja baru. Bukan saatnya lagi sebuah perguruan tinggi hanya mencetak sarjana dan memegang ijazah sebagai sebuah kebanggaan untuk digunakan melamar kiri kanan di semua sektor public office atau public privat, tetapi jauh lebih penting seorang lulusan perguruan tinggi memiliki inovative entrepreneurship.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator). Perguruan tinggi seharusnya mampu mengubah cara pandang yang sebagian besar alumninya selalu ingin berprofesi sebagai pegawai negeri menjadi wirausaha Perubahan ini harus ditanamkan melalui pendidikan berwawasan kewirausahaan yang kreatif dan inovatif. Jumlah wirausaha saat ini di Indonesia sekitar 450.000 orang atau sekitar 0,18 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini jauh dari ideal, yakni 2 persen dari jumlah penduduk. Persentase ini kalah jauh dibanding dengan negara tetangga seperti Sangapura yang wirausahanya 7,2 persen dari jumlah penduduk, sedangkan Amerika Serikat 12 persen, dan Malaysia 3 persen (Kompas, 25 Juli 2011 hal. 12)
Ada filosofis yang mengakar pada masyarakat kita yang menyebabkan banyak orang tidak termotivasi terjun ke dunia bisnis karena orang tuanya selalu menjadi harapan anaknya untuk bekerja di kantor pemerintahaan atau swasta, bahkan lebih menyedihkan lagi kalimat orang tua “untuk apa sekolah tinggi, jika hanya mau menjadi wiraswasta”. Kenyataannya, masih banyak yang memandang bahwa profesi wirausaha cukup menjanjikan harapan di masa depan. Hal ini didorong oleh kondisi persaingan di antara pencari kerja yang semakin ketat. Lowongan pekerjaan mulai terasa sempit. ditambah lagi dengan policy zero growth oleh pemerintah dalam bidang kepegawaian. Bahkan berita duka para pencacah ijazah ke kantor instansi pemerintah yang membuka lowongan kerja sangat sedikit bahkan ada instansi pemerintah yang tidak sama sekali menerima calon pegawai negeri tahun ini. Semoga kedepan bangsa ini menjadi bangsa yang mencintai inovative entrepreneurship sebagai solusi terbaik masa depan.
Referensi :
- http://suarapengusaha.com/2012/02/11/memajukan-indonesia-dengan-memperbanyak-entrepreneurship/
- Jurnal Membangun Indonesia Melalui Kepemimpinan Entrepreneur Agribisnis, oleh Rachmat Pambudy
- http://www.binaswadaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=160&Itemid=38&lang=in_ID
- http://pinisi09.wordpress.com/2011/07/31/innovative-entrepreneurship-solusi-masa-depan/
Sumber: kalas-9292.blogspot.com
EmoticonEmoticon